#1 Pemahaman Perbedaan Gender


Kok nak wedok main mobilan?

Ih malu masa cah lanang main masakan?

Oh ya, apakah mainan berlabel gender for male or female? Saya bertanya-tanya, bisa jadi kitalah orang dewasa yang tergesa melabelinya.

Dari kecil di kerudungin yaa biar biasa menutup aurat, disekolahin di sekolah khusus putri/putra biar terjaga dari yang mahrom, apakah ini merawat fitrah atau mencederai fitrah gender?

——

Pertanyaan saya lalu terjawab di diskusi pertama level 11 ini, mengupas fitrah seksualitas, pertama membahas perbedaan sex dan gender. Jika sex lebih pada pengertian biologis berdasarkan anatomi dan penampakan fisik, maka gender lebih pada ekspresi maskulinitas dan feminitasnya.

Kami diajak pada awal pemahaman kesetaraan sex (jenis kelamin) dalam Quran misalnya qs.azzariyat: 56 menegaskan kesamaan laki dan perempuan dalam beribadah, qs.an-nahl: 97, an-nisa:124, al-imron:95 dalam kesetaraan mengerjakan amal shaleh.

Saya pikir ini kesetaraan gender bukan kesetaraan sex, karena menyangkut ekspresi laki-laki dan perempuan sebagai hamba/penganut agama dalam beribadah dan bersosialisasi sesama makhluk. Kesamaan dan kesetaraan sex justru saya temukan dalam qs. al-ahzab:35

“Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 35)

.

Secara gamblang Allah menyebutkan eksplisit diksi “laki-laki dan perempuan”. Ini menurut saya sekaligus menunjukkan pula jenis kelamin yang secara fitrah ada dan diakui agama. Sementara gender, bisa beragam dan bercabang ekspresinya dari yang normal hingga yang menyimpang.

Di dalam diskusi kami juga menyoroti peran laki-laki dan perempuan dalam porsi yang saling melengkapi dan bersinergi, bukan berkompetensi (qs.annisa:32). Ini lebih lanjut menjadi landasan pengembangan fitrah lelaki sebagai qowwam (pemimpin) dengan maskulinitasnya sementara wanita sebagai pendidik dengan feminitasnya. Tentu dengan porsi yang berimbang–lelaki juga ada saatnya memunculkan sifat feminim yang penyayang, sementara wanita juga bisa memunculkan sifat maskulinitasnya jika dibutuhkan dalam proses mendidik anak.

Kalau ditinjau dari segi anatomi (sex) nya, bukankah memang laki-laki pun memiliki kromosom X yang disumbang dari perempuan?

Inilah yang menjadikan pondasi pendidikan yang dilakukan keluarga, ayah dan ibu—parent and co-parent, harus dilakukan secara kompak demi menjaga fitrah seksualitas anak. Jika terjadi penyimpangan maka pertama koreksi dahulu pola asuh asih orang tua, sosok ayah ibu harus hadir sesuai tahap perkembangan anak, memastikan suplai peran keayahan dan keibuan.

Menjawab pertanyaan dan kegundahan saya, benarlah bahwa mainan anak tak mengenal gender. Gender dikenalkan dari sosok ayah dan ibu, dari lingkungan yang mengasah maskulinitas dan feminitasnya–bukan dari mainan. Hal ini juga terkait artikel yang menunjukkan hasil penelitian yang mendukung. Anak belajar dari sosok ayah atau ibu yang mendampingi ketika bermain.

Lalu menyoal, pemisahan jenis kelamin dalam bersosialisasi seperti di sekolah atau forum umum, ini dalam diskusi juga terbagi dua pendapat. Yang menganjurkan dipisah sejak dini (agar mencegah dewasa dini) dan yang mengatakan sejak kecil ketika anak berbaur akan mengasah sosialisasi.

Hmmm, nampaknya diskusi hari esok akan lebih hangat! Bravo PG1!

.

.

#gamelevel11 #fitrahseksual #institutibuprofesional #tantangan10hari #ibuprofesional #kelasbundasayang #kuliahbundasayang #kelasbunsay #kuliahbunsay #FatimahBelajarParenting #harike1

Leave a Reply Here

Create a website or blog at WordPress.com

Up ↑